Wali Murid Harus Ketat Pengawasan untuk Cegah Pelecehan Seksual di Lembaga Pendidikan

 border=

Wakil Presiden ( Wapres ) Ma'ruf Amin meminta agar pelaku pelecehan dan kekerasan seksual dihukum seberat-beratnya.

Hal ini merespons semakin maraknya tindak kejahatan seksual di Indonesia.

"Wapres sangat khawatir dengan kondisi pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Wapres itu minta dihukum seberat-beratnya," kata Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi saat melakukan dialog secara virtual dengan media.

"Wapres tidak ingin masuk ke wilayah kontroversi setuju atau tidak setuju soal hukuman mati ya, walaupun ya secara hukum pemberlakuan hukuman mati belum dihapus. Tapi intinya bagaimana efek jera dari sebuah kejadian yang selalu berulang dan itu menimbulkan efek jera, Wapres meminta bagaimana dengan hukuman seperti itu bisa menimbulkan efek jera," katanya.

Kasus pelecehan seksual, pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan terhadap 12 santri di Bandung membuka mata semua pihak.

Tak hanya itu, kasus pelecehan seksual juga terjadi di lembaga pendidikan lain. Dari kasus-kasus itu, perlunya menyoroti pengawasan manajemen di lembaga pendidikan.

"Bagaimana kedisiplinan dan pemantauan-pemantauan dari manajemen lembaga pendidikan saya kira perlu diperketat pengawasannya," tutur Juru Bicara Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Masduki Baidlowi melalui virtual.

Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan tentunya mengikuti karakteristik dari masing-masing lembaga pendidikan itu sendiri. Baik di pondok pesantren ataupun boarding school yang tidak sepenuhnya murni menerapkan konsep pesantren.

Intinya, kata dia, agar bisa lebih terdeteksi sejak dini. Salah satunya dari wali murid. Agar lebih berperan aktif.

"Wali murid juga sangat penting. Jangan sampai dipasrahkan sepenuhnya tetapi tidak tahu apa-apa terhadap kondisi putra-putrinya," kata Masduki.

Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi mengusulkan adanya revisi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Ia menilai UU tersebut belum mengatur secara jelas terkait dengan pengawasan pesantren dan kekerasan seksual.

"Dalam Undang-undang Pesantren tidak ada yang namanya pengawasan. Dewan Masyayik itu hanya penguatan konten pendidikan," kata Wamenag di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis, 13 Januari 2022.

Wamenag meminta adanya revisi UU pesantren sehingga masyarakat juga bisa memberi pengawasan.

"Mohon telaah ulang apakah ini perlu dilakukan semacam revisi agar pemerintah dan masyarakat bisa memiliki akses untuk melakukan pengawasan di pondok pesantren. Karena pondok pesantren itu unit pendidikan yang unik, memiliki independensi yang luar biasa," kata Zainut.

Selain itu, Kemenag juga memastikan ada pengetatan proses perizinan pendirian pesantren. Salah satunya syarat adanya rekomendasi dari organisasi masyarakat yang menjadi pengawas.

"Pengetatan pada proses awal, yakni izin pendirian pesantren harus ada beberapa persyaratan," ucapnya.

Sumber: merdeka.com, sindonews.com

 border=